Senin, 13 Maret 2017

Mata Kuliah Al-Qur'an dan Hadist



Demokrasi dalam Prespektif Al-Qur'an

Secara teoritis banyak yang menganggap bahwa demokrasi  adalah sebuah cara dan usaha untuk menghormati hak asasi manusia.   Cara ini dibuat untuk meruntuhkan sistem pemerintahan yang menganut liberalis atau komunis, agar negara tersebut dapat menghargai HAM. Pada dasarnya demokrasi ini awalnya berbentuk cara atau suatu corak bekerja, yang selanjutnya nanti akan dibuat untuk suatu sistem pemerintahan bagi negara yang akan melepaskan nilai liberal atau komunis dari dalam sistem pemerintahannya.
Namun perlu disinggung pula bahwa kebebasan tersebut dapat berangkat dari sebuah faktor manusiawi seseorang yang ingin eksis dalam hidupnya, sedangkan peraturan berangkat dari faktor keterbatasan manusia sebagai makhluk yang diciptakan-Nya.

Bersamaan dengan munculnya negara sebagai organisasi terbesar yang relatif awet dan kokoh dalam kehidupan bermasyarakat, maka pemerintahan mutlak harus ada untuk membarenginya. Yaitu munculnya keberadaan dua kelompok yaitu pihak yang memerintahkan dan pihak yang diperintah.

            Demokrasi pancasila berusaha untuk menyeimbangkan apa yang dibicarakan tersebut di muka. Hak-hak individu yang tertera dalam sila keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan” harus diseimbangkan dengan sila ketiga  “ Persatuan Indonesia “ yang memuat peraturan dalam mewujudkan kesatuan. Hal ini karena sila-sila Pancasila itu sendiri memang harus saling kait dan menguatkan.

            Akan halnya tanggapan positif umat islam di Indonesia terhadap keberadaan Pancasila sudah barang tentu tidak dapat disangkal, karena berbagai ayat – ayat Al-Qur’an sama sekali tidak bertentangan bahkan mendukung kehadiran falsafah ini, sebagian contoh kita lihat:

                 Sila pertama: “Ketuhanan Yang Maha Esa”, berkaitan dengan surat Al Ikhlas ayat 1 yang berbunyi:

 قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ “Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.” (AL IKHLASH [112]:1)

Dalam realisasinya tampak begitu besar rasa terima kasih umat Islam karena pemerintah telah membantu membangunkan ribuan buah Masjid Muslim Pancasila.

            Sila kedua: “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab,” berkaitan dengan surat Ash Shaffaat ayat 25 yang berbunyi:

مَا لَكُمْ لا تَنَاصَرُونَ  "Kenapa kamu tidak tolong-menolong?" (  ASH SHAFFAAT [37]:25 )

Yang mempertanyakan mengapa manusia tidak tolong menolong dalam kemanusiaan. Dalam realisasinya kita lihat begitu besarnya perhatian pemerintah pada masyarakat, mereka yang penduduknya melimpah ditransmigrasikan, mereka yang kewalahan dengan persalinan yang berkepanjangan dikeluarga-berencanakan, yang kesemuanya tidak dilaksanakan negara-negara modern.

            Sila Ketiga: “Persatuan Indonesia” berkaitan dengan Surat Ali Imran ayat 105 yang berbunyi:

وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ  “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat,” (ALI IMRAN[3]:105)
Yang melarang umat Indonesia ini bercerai berai. Dalam realisasinya tampak kekuatan persatuan bangsa kendatipun kita terdiri dari berbhineka, ragam suku, bahasa daerah, agama, pulau, adat istiadat dan kebiasaan.


                Sila Keempat: “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan” berkaitan erat dengan Surat Asy Syuura ayat 38 yang berbunyi:
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ  ”Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”

Dalam realisasinya terlihat keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat daerah, baik daerah yang tingkat I maupun II hanya sekarang tinggal anggotanya.

           
           
            Sila Kelima: “Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” Berkaitan dengan Surat An Nisaa ayat 135 yang berbunyi,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا  “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan.”
Dalam realisasinya diserahkan pada badan peradilan (yudhikatif).



#Daftar Pustaka: Syafiie, Ibu Kencana. 1996. Al-Qur'an dan Politik. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.

Mata Kuliah Pengantar Hukum Indonesia



                  ( SISTEM HUKUM INDONESIA )

1.  Definisi Hukum



a.     Sistem Hukum Adat

Secara bahasa Hukum Adat terbagi menjadi dua kata, yakni Hukum  dan Adat. Hukum itu sendiri adalah kumpulan aturan atau norma yang apabila dilanggar akan dikenai sanksi, dan yang membuat hukum adalah orang yang memiliki kewenangan atasnya, Sedangkan Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah. Apabila adat ini tidak dilaksanakan akan terjadi kerancuan yang menimbulkan sanksi tak tertulis oleh masyarakat setempat terhadap pelaku yang dianggap menyimpang

Jadi, Hukum adat didefinisikan sebagai suatu aturan atau kebiasaan beserta norma-norma yang berlaku di suatu wilayah tertentu dan dianut oleh sekelompok orang di wilayah tersebut sebagai sumber hukum. Ditinjau dari segi pemakaian hukum adat diartikan sebagai tingkah laku manusia maka segala sesuatu yang telah terjadi atau yang biasa terjadi di dalam masyarakat dapat dijadikan sebagai suatu hukum. Misalnya di perkampungan pedesaan terkecil yang masih mengikuti hukum adat. Hukum adat juga berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya dari zaman ke zaman, namun proses dalam perkembangan itu berbeda-beda. Ada yang cepat ada pula yang lambat sesuai dengan perkembangan masyarakat tertentu.

b.     Sistem Hukum Islam/Agama


Hukum Islam merupakan rangkaian kata “Hukum” dan “Islam”. Secara terpisah hukum dapat diartikan sebagai  seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat seluruh anggotanya. Bila kata “hukum” digabungkan dengan kata “Islam”, maka hukum Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat bagi mereka para pemeluknya.  

Hukum Islam dapat pula diartikan sebagai Hukum Syara’ yang menurut Ulama Ushul ialah doktrin (kitab) syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau diperintahkan memilih atas berupa ketetapan (taqrir). Sedangkan menurut ulama fiqh hukum syara’ ialah efek yang dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan seperti wajib, haram dan mubah.

Dapat disimpulkan bahwa Hukum Islam adalah syariat yang berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah (perbuatan).


c.      Sistem Hukum Barat/Eropa/Kontinental

Pengertian Hukum Barat sebenarnya adalah hukum yang berdasarkan ketentuan pasal 131 pasal 163 IS yang dinyatakan berlaku untuk pihak-pihak yang dimasukkan ke dalam golongan Eropa, atau untuk pihak hukum barat, karena berdasarkan asas konkordansi, hukum yang berlaku untuk golongan Eropa di “Hindia Belanda” harus meniru hukum (perdata)yang berlaku di Negeri Belanda. Sedangkan hukum yang berlaku di Negeri Belanda, seperti halnya hukum di negara-negara Eropa Barat lainnya banyak di pengaruhi prinsip-prinsip yang merupakan hasil revolusi Perancis, yaitu liberte (kemerdekaan), egalite (persamaan), dan fraternite (persaudaraan). Sebagai contoh Burgerlijk Wetboek (BW) banyak mengambil alih ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Code Civil (Kitab undang-undang Hukum Perdata Perancis). Semua asas yang terkandung pada Code Civil dijadikan sebagai asa BW juga.

Hukum Perdata Barat ada yang terbentuk Hukum Tertulis di samping ada juga yang terbentuk hukum Tidak Tertulis (kebiasaan). Sedangkan hukum tertulis ada yang dikodifikasikan, di samping ada hukum tertulis yang tidak dikodifikasikan. Hukum tertulis yang telah dikodifikasi adalah Burgerlijk Berboek (BW) (diterjemahkan secara salah kaprah sebagai “Kitab Undang-undang Hukum Perdata” dan Wetboek Van Koophandel  (diterjemahkan secara salah kaprah sebagai “Kitab Undang-undang Hukum Perdata” dan “Kitab Undang-undang Hukum Dagang” tersebut benar-benar suatu kesalahan yang sangat fatal).


2.    Pembentuk Sistem Hukum


a.     Hukum Adat

Sejarah hukum Adat di Indonesia di mulai sejak zaman Malaio Polinesia, yaitu zaman dimana nenek moyang bangsa Indonesia tersebar mengarungi lautan di antara pulau Madagskar di sebelah Barat pulau Taiwan dan kepulauan Hawai di sebelah Utara, sampai pulau Paska di sebelah timur. Pada zaman ini, segala sesuatunya bersumber pada pusat kesaktian, magi dan animisme. Sampai dewasa ini di dalam upacara-upacara adat alam kesaktian itu masih nampak pengaruhnya. J. Mallinckroodt memberikan pernyataan bahwa hukum  adat  Kalimantan itu berdasarkan kepada kepercayaan asli kepada benda halus yang disebut mugi. (Hilman Hadikusuma, 1978;17).

            Zaman berikutnya adalah  Zaman Hindu,  di Indonesia yang berlaku selama 15 abad dan selama masa itu Indonesia memiliki kebudayaan yang tinggi, dikarenakan terjadinya bentuk negara dan berkembangnya perekonomian. Pada Zaman Hindu ini, tercatat pada abad ke-6 dengan ajanya yang disebut Kaudinya memiliki 136 desa, memiliki pemerintah yang memiliki pegawai tinggi dengan sebutan “Tu-ka-ya-na” dan pegawai rendah disebut “Tu-ka-si-na,” dengan hukum pidana yang beraku adalah potong tangan bagi kejahatan pembunuhan atau pencurian dan diikat dengan rantai untuk perbuatan zina.


b.     Hukum Islam/Agama

Hukum Islam telah ada di Kepulauan Indonesia sejak orang Islam datang dan bermukim di nusantara ini, yaitu pada abad pertama Hijriah atau pada abad ketujuh Masehi sebelum masuknya kolonialisasi di Indonesia. Masa ini terjadi pada masa kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia yang memberlakukan hukum Islam dan corak pemerintahan Islam. Proses Islamisasi Hukum Islam terjadi pada awalnya di lakukan oleh saudagar-saudagar Arab dan masyarakat Indonesia dengan cara kontak dagang dan perkawinan. Kontak dagang dan perkawinan dengan orang Indonesia dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah nilai-nilai Islam yang disesuaikan dengan budaya setempat. Pembentukan keluarga Islam inilah kemudian menjadi masyarakat Islam di Indonesia.

Setelah hukum Islam mengakar kemudian tugas saudagar di gantikan oleh Ulama untuk melaksanakan syiar Islam di Indonesia, dari ulama inilah kemudian raja-raja belajar Islam dan memberlakukan hukum Islam walaupun tidak secara penuh. Sebagai contoh Sultan Pasai pada tahun 1345 M di pegang oleh Sultan Malik Al-Zahir adalah seorang Fukaha yang menyebarkan mazhab Syafi’i di Indonesia.

Secara yuridis raja-raja di Indonesia memberlakukan hukum Islam akan tetapi tidak dalam konteks peraturan atau perundang-undangan kerajaan. Hukum Islam diberlakukan dalam konteks ijtihad ulama, permasalahan-permasalahan yang terjadi terkadang tidak bisa di selesaikan oleh perundang-undangan kerajaan maka terkadang di tanyakan kepada Ulama. Saat itulah ulama melakukan ijtihad atau menyandarkan pendapatnya kepada kitab-kitab fikih. Dengan pola ini mazhab imam 4 Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali berkembang di Indonesia hingga saat ini. Sistem hukum Islam terus berjalan bersamaan dengan sistem hukum adat di Indonesia hingga masuknya kolonialisasi yang dilakukan oleh negara-negara barat di Indonesia.


c.      Hukum Barat/Eropa/Kontinental

Di belanda, BW berlaku sejak 1 Oktober 1838 berdasarkan Dekrit Belanda 10 april 1838 yang di muat dalam Staatsblad No. 12/1838. Pada saat itu, Belanda memiliki negara jajahan, yaitu Hindia Belanda, sehingga mulai dipikirkan bagaimana memberlakukan BW tersebut di Hindia Belanda.

Pada tahun 1847, berdasarkan pengumuman Gubernur Jenderal Hindia Belanda, BW yang ada beberapa bagian disesuaikan dan ditambahkan tersebut diberlakukan di Hindia Belanda pada tanggan 1 Mei 1848.

Pemberlakuannya didasarkan pada asa korkordansi atau Concordantie Beginsel yang tercantum pada Pasal 131 Indische Sattsregeling (IS)  yang berisi aturan-aturan pemerintah Hindia Belanda yang terdiri dari 187 pasal, dan mulai berlaku sejak 1926 berdasarkan Staatblad 1925-577. Pasal 131 IS tersebut sebagai dasar berlakunya BW dan WvK di Hindia Belanda. 

#Daftar Pustaka: Nursadi, Harsanto. 2014. Sistem Hukum Indonesia. Banten: Universitas Terbuka.