MAKALAH
KEADILAN HUKUM WARIS ISLAM
DI SISTEM HUKUM INDONESIA
Disusun oleh :
ACHMAD THAUFIK
NIM: 16340063
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Hukum
Dosen Pengampu: Udiyo Basuki, S.H., M.Hum.
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Pengantar Ilmu Hukum dengan judul “ Keadilan Hukum Waris Islam di Sistem Hukum Indonesia” dengan tepat waktu.
Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
Yogyakarta,
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penulisan makalah ini dilatar belakangi adanya asumsi bahwa praktik penegakan hukum waris Islam di peradilan agama dan pembagian harta warisan di kalangan masyarakat muslim Indonesia yang lebih banyak di dasarkan kepada hukum adat dan bukan kepada hukum waris Islam. Padahal dalam Islam, setiap muslim dikehendaki untuk tunduk, taat, dan patuh kepada hukum Islam dengan tetap mengacu kepada Al-Quran dan Sunnah, tak terkecuali dalam melaksanakan hukum waris.
Masalah ketentuan waris bagi ahli waris pengganti, anak angkat, dan ahli waris beda agama. Ketiga masalah tersebut kini telah masuk menjadi sebagian pasal yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam. Sebagian pihak memandang ketentuan tersebut erat kaitannya dengan konsep wasiat wajibah yang diadopsi dari yurisprudensi di Mesir, tapi sebagian lainnya memandang ketentuan itu telah keluar dari hukum waris Islam yang seharusnya. Untu lebih lanjutnya akan dibahas di dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hukum waris itu ?
2. Apa saja dasar hukum waris ?
3. Bagaimana penjelasan tentang hukum waris islam itu ?
4. Siapa saja yang termasuk dalam ahli waris ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang pengertian hukum waris termasuk juga unsur, sebab, syarat hingga golongan ahli waris.
2. Untuk mengetahui dan memahami ayat yang ada dalam Al-Quran maupun Hadits yang menjelaskan tentang hukum waris
3. Untuk memahami perbandingan hukum waris Indonesia dengan hukum waris Islam
4. Untuk mengetahui siapa saja orang maupun golongan yang termasuk ahli waris dalam keluarga.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristoteles menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik daripada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela."
Hingga saat ini, belum ada kesepahaman dari para ahli mengenai pengertian hukum. Telah banyak para ahli dan sarjana hukum yang mencoba untuk memberikan pengertian atau definisi hukum, namun belum ada satu pun ahli atau sarjana hukum yang mampu memberikan pengertian hukum yang dapat diterima oleh semua pihak. Ketiadaan definisi hukum yang dapat diterima oleh seluruh pakar dan ahli hukum pada gilirannya memutasi adanya permasalahan mengenai tidak sepahaman dalam definisi hukum menjadi mungkinkah hukum didefinisikan atau mungkinkah kita membuat definisi hukum? Lalu berkembang lagi menjadi perlukah kita mendefinisikan hukum?.
Ketiadaan definisi hukum jelas menjadi kendala bagi mereka yang baru saja ingin mempelajari ilmu hukum. Tentu saja dibutuhkan pemahaman awal atau pengertian hukum secara umum sebelum memulai untuk mempelajari apa itu hukum dengan berbagai macam aspeknya. Bagi masyarakat awam pengertian hukum itu tidak begitu penting. Lebih penting penegakannya dan perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat. Namun, bagi mereka yang ingin mendalami lebih lanjut soal hukum, tentu saja perlu untuk mengetahui pengertian hukum.[1]
2.1.1 Pengertian Hukum Waris
Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih berhak.[2]
2.1.2 Subjek Hukum Waris Indonesia
a. Pewaris
Syarat sebagai pewaris adalah adanya hak-hak atau dan/atau sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi pada pihak ketiga, yang dapat dinilai dengan uang.
b. Ahli Waris
Orang-orang tertentu yang secara limitatif diatur dalam KUH Perdata yang menerima harta peninggalan ialah:
1) Ahli waris yang mewaris berdasarkan kedudukan sendiri atau mewaris secara langsung, misalnya jika ayah meninggal dunia, maka sekalian anak-anaknya tampil sebagai ahli waris.
2) Ahli waris berdasarkan penggantian, disebut ahli waris tidak langsung. Misalnya A meninggal dunia dengan meninggalkan anak B dan C. B telah meninggal terlebih dahulu dari A (pewaris). B mempunyai anak D dan E yang tampil sebagai ahli waris A menggantikan B (cucu mewaris dari kakek/nenek)
3) Penggantian ketiga yang bukan ahli waris dapat menikmati harta peninggalan. Dalam KUH Perdata terdapat ketentuan tentang pihak ketiga yang bukan ahli waris, tetapi dapat menikmati harta peninggalan harta pewaris peninggalan berdasarkan suatu testamen/wasiat.
c. Pihak Ketiga Yang Tersangkut Dalam Warisan
(Pada KUH Perdata, selain ahli waris Islam dan pewaris juga dikenal)
1) Suatu fidei comis, ialah suatu pemberian warisan kepada seseorang ahli waris dengan ketentuan bahwa ia berkewajiban menyimpan warisan itu dan setelah lewatnya suatu waktu, warisan itu harus diserahkan pada orang lain. Cara pemberian warisan semacam ini oleh undang-undang disebut sebagai pemberian warisan secara melangkah.
2) Executeur testamentair adalah pelaksana wasiat yang ditunjuk oleh si pewaris, yang bertugas mengawasi pelaksanaan surat wasiat secara sungguh-sungguh sesuai dengan kehendak pewaris.
3) Bewindvoerder/pengelola adalah seorang yang ditentukan dalam wasiat untuk mengurus harta peninggalan sehingga para ahli waris hanya menerima penghasilan dari harta peninggalan tersebut dan agar jangan sampai harta peninggalan dihabiskan dalam waktu singkat oleh para ahli waris.[3]
2.1.3 Hak dan Kewajiban Pewaris dan Ahli Waris Indonesia
a. Hak dan Kewajiban Pewaris
1) Hak Pewaris
Hak pewaris timbul sebelum terbukanya harta peninggalan dalam arti bahwa pewaris sebelum meninggal dunia berhak menyatakan kehendaknya dalam sebuah wasiat. Isi dari wasiat dapat berupa;
a) Erfstelling, yaitu penunjukkan satu/beberapa orang menjadi ahli waris untuk mendapatkan sebagian atau seluruh harta peninggalan. Orang yang ditunjuk dinamakan ahli waris menurut wasiat.
b) Legaat, adalah pemberian hak kepada seseorang atas dasar wasiat yang khusus. Pemberian itu dapat berupa:
(1) (hak atas) satu atau beberapa benda tertentu
(2) (hak atas) seluruh dari satu macam benda tertentu
(3) Hak vruchtgebruik atas sebagian/seluruh waisan. Orang yang menerima legaat dinamakan legataris. Terdapat tiga macam bentuk testamen, yaitu:
(a) Openbaar testament, yaitu testamen yang dibuat oleh seorang notaris dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
(b) Olographis testament, adalah testamen yang ditulis oleh calon pewaris sendiri, kemudian diserahkan kepada seorang notaris untuk disimpan dengan disaksikan oleh dua orang saksi.
(c) Testament Rahasia, dibuat oleh calon pewaris tidak harus ditulis tangan, kemudian testament tersebut disegel dan diserahkan kepada seorang notaris dengan diaksikan oleh empat orang saksi.
2) Kewajiban Pewaris
Kewajiban si pewaris merupakan pembatasan terhadap haknya yang ditentukan undang-undang. Ia harus mengindahkan legitieme portie, yaitu suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan. Legatieme Portie adalah pembatasan terhadap hak si pewaris dalam membuat testament wasiat.[4]
2.1.4 Pembagian Warisan Menurut Hukum Positif
KUH Perdata mengatur pembagian warisan dengan suatu ketentuan yang tegas tercermin dalam ketetapan pasal 1066 KUH Perdata yang isinya sebagai berikut,
a. Tidak seorang ahli waris yang dapat dipaksa membiarkan harta warisan tidak terbagi.
b. Pembagian harta warisan dapat dibagi sewaktu-waktu.
c. Terdapat kemungkinan untuk mempertangguhkan pembagian harta warisan dengan jangka waktu 5 tahun; dan dapat diperpanjang lagi dalam jangka waktu 5 tahun dengan persetujuan ahli waris.
Hal yang berkaitan erat dengan pembagian warisan adalah soal inbreng, yaitu pengembalian benda-benda ke dalam boedel. Menurut undang-undang yang diharuskan melakukan inbreng adalah para ahli waris dalam garis lurus ke bawah, dengan tidak membedakan apakah mewaris secara penuh atau menerima dengan catatan tetapi pewaris berhak menentukan bahwa ahli waris yang telah menerima pemberian pada saat pewaris hidup dibebaskan dari inbreng. Dasar pemikiran aturan inbreng adalah agar pewaris berlaku adil terhadap semua anak-anak dan cucu-cucunya.
Setelah selesai perhitungan dan pembayaran uang pewaris, Pasal 1079 KUH Perdata mengatur cara pembagian warisan sebagai berikut.
a. Masing-masing ahli waris menerima barang tertentu dengan harga/nilai sama rata.
b. Bila di antara ahli waris ada yang menerima barang/harta waris lebih dari bagiannya, di pihak lain di antara ahli waris menerima kurang dari bagiannya maka ahli waris yang menerima bagian yang lebih diharuskan memberikan sejumlah uang tunai pada yang mendapatkan kuang dari bagiannya.
Apabila tidak ada kata sepakat mengenai penentuan barang-barang tertentu yang akan dibagikan kepada masing-masing ahli waris maka dapat dimintakan keputusan pengadilan negeri. Setelah menerima penentuan barang-barang tertentu, Pasal 1080 KUP Perdata membuka kemungkinan tukar-menukar bagian masing-masing di antara para ahli waris. Pasal 1083 KUH Perdata menegaskan apabila pembagian warisan sudah terjadi, maka masing-masing ahli waris dianggap sebagai pemilik barang yang diterimanya sejak saat pewaris meninggal.[5]
2.2 Pengertian Hukum Waris Islam
Hukum (Ar.: al-hukm = menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya). Secara bahasa, al-hukm juga mempunyai pengertian al-qada’ (ketetapan) dan al-man’ (pencegahan).[6]
Ulama usul fikih mendefinisikannya dengan “tuntutan Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan orang mukalaf, baik berupa tuntutan, pemilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah, atau ‘azimah,[7]
Sedangkan waris atau warisan, yaitu suatu cara penyelesaian perhubungan-perhubungan hukum dalam masyarakat, yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seorang manusia, Terutama dalam keduniawian. [8]
Jadi, hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang telah meninggal yang akibatnya bagi para ahli warisnya. Pada asasnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan/harta benda saja yang dapat diwaris. Beberapa pengecualian, seperti hak seorang bapak untuk menyangkal sahnya seorang anak dan hak seorang anak untuk menuntut supaya dinyatakan sebagai anak sah dari bapak atau ibunya (kedua hak itu adalah dalam lapangan hukum kekeluargaan ). [9]
2.3 Dasar Hukum Waris Islam
Al-Quran, hadits dan ijmak merupakan dasar hukum pembagian harta dalam warisan.[10]
2.3.1 Ayat-ayat Al-Quran Yang Berkaitan Dengan Hukum Waris Islam
1) QS. An-Nisa’ [4]: Ayat 7
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا[11]
Artinya:
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.[12]
2) QS. An-Nisa’ [4]: Ayat 8
وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلا مَعْرُوفًا[13]
Artinya:
Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.[14]
3) QS. An-Nisa’ [4]: Ayat 11
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا[15]
Artinya :
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[16]
4) QS. An-Nisa’ [4]: Ayat 12
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ[17]
Artinya:
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.[18]
5) QS. An-Nisa’ [4]: Ayat 33
وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا[19]
Artinya:
Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.[20]
6) QS. An-Nisa’ [4]: Ayat 176
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ[21]
Artinya:
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.[22]
7) QS. Al-Anfal [8]: Ayat 72
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلا عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ[23]
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.[24]
8) QS. Al-Anfal [8]: Ayat 75
وَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُولَئِكَ مِنْكُمْ وَأُولُو الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ[25]
Artinya:
Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.[26]
9) QS. Al-Ahzab [33]: Ayat 6
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ وَأُولُو الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا كَانَ ذَلِكَ فِي الْكِتَابِ مَسْطُورًا[27]
Artinya:
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).[28]
2.3.2 Hadits-hadits Yang Berkaitan Dengan Hukum Waris
1) “ Berikan bagian harta warisan kepada yang berhak menerimanya. Sisa dari harta peninggalan tersebut diberikan kepada laki-laki yang paling dekat (hubungan darahnya) kepada orang yang meninggal.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
2) “Saudara ibu menjadi ahli waris bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris.” (HR. Ahmad bin Hambal)
3) “Allah dan Rasul-Nya wali bagi orang yang tidak ada walinya. Saudara laki-laki ibu adalah ahli waris bagi orang yang tidak ada ahli warisnya.” (HR. Ahmad bin Hanbal)
4) “Apabila seorang bayi lahir dalam keadaan menangis, maka ia berhak mendapat bagian dari harta warisan.”(HR. Abu Dawaud)
5) “Apa yang diperoleh oleh ayah atau oleh anak maka yang demikian itu untuk asabat-Nya, siapa saja dia.” (HR. Abu Dawud)
6) “Rasulullah telah menetapkan untuk anak perempuan dan untuk cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam untuk mencukupi dua pertiga dan sisanya untuk saudara perempuan.” (HR. Al-Bukhari)
7) Buraid berkata: “Rasulullah telah menetapkan seperenam bagi nenek bila tidak ada ibu.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasa’i)
8) “Hubungan antara orang yang memerdekakan dan yang dimerdekakan sama dengan hubungan darah. Tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan.” (HR. Al-Hakim)
9) “Sampaikan bagian dari harta warisan kepada yang berhak menerimanya, jika ada sisa berikan kepada orang yang lebih dekat keberatannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
10) “Orang muslim tidak dapat mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak dapat mewarisi orang muslim.” (HR.Jamaah, kecuali Muslim dan an-Nasa’i)
11) “Hak wala (perbudakan) ada pada tangan orang yang memerdekakan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)[29]
2.3.3 Ijma’
Dasar hukum pembagian harta menurut ijmak dikemukakan oleh para sahabat dan tabiin yang sepakat mengenai bagian seperenam bagi nenek seorang diri atau lebih[30]
2.4 Asas-asas Hukum Kewarisan Islam
Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia, kepada ahli warisnya. Hukum kewarisan Islam disebut juga dengan hukum faraidh sebagai bentuk plural dari kata faridhah, yang erat sekali hubungannya dengan kata fardhun yang berarti sesuatu kewajiban yang harus dilaksanakan. Hal ini dikemas dalam kalimat “fariidhatan minallah” (ini adalah suatu ketetapan dari pada Allah)
Sebagai hukum yang bersumber dari wahyu ilahi yang disampaikan dan dijelaskan oleh Rasul-Nya Muhammad SAW melalui sunnahnya, hukum kewarisan Islam mempunyai beberapa asa yang diantaranya dimiliki pula oleh hukum kewarisan adat. Namun karena sifatnya yang sui generis (berbeda dalam jenisnya), hukum kewarisan Islam mempunyai corak sendiri.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang bersumber dari Al Quran dan sunnah Rasul SAW, dalam penyusunnya dilakukan langkah-langkah yang luwes, sehingga rumusan hukum dasar atau dasar-dasar hukum yang terdapat di dalam AL Quran diungkapkan dengan rumusan hukum yang rasional, praktis dan aktual dalam Kompilasi Hukum Islam.
Dalam kaitan dengan perumusan garis-garis hukum dari Al Quran panitia perumusan senantiasa memperhatikan asbabun nuzul (sebab-sebab turun) suatu ayat dan asbabul wurud (sebab-sebab terjadinya) suatu hadits. Dengan cara itu prinsip-prinsip umum yang terkandung di dalam kedua sumber Hukum Islam itu dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman dan keadaan di suatu tempat sehingga dapat mengantisipasi kompleksitas tuntutan zaman. Namun demikian dalam upaya ini panitia Kompilasi Hukum Islam terikat pada batasan ke-qath’iy-an suatu nash. Apabila suatu nash sudah qath’i dilalah-nya seperti bagian perolehan seorang anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan sebagaimana tercantum dalam Al Quran surat An-Nisa’ [4]:11, rumusannya tetap tidak berubah. Sedangkan terhadap hal-hal yang tidak secara tegas diatur dalam nash Al Quran dan sunnah tetapi dirasakan sebagai kebutuhan hukum masyarakat muslim sekarang ini, maka panitia perumus mengembangkan hukum baru. Misalnya mengenai hak anak untuk menggantikan kedudukan keahliwarisan orang tuanya yang telah meninggal dunia lebih dahulu ketika pembagian harta warisan pewaris dilakukan. Selain dari dua sumber hukum di atas, materi Kompilasi Hukum Islam diserap pula dari penalaran pada fuqaha/ahli fiqh yang tersebar di dalam berbagai macam kitab fiqh.[31]
Dari rumusan-rumusan hukum yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam yang kemudian dikembangkan oleh yurisprudensi Mahkamah Agung RI, maka dapat sarikan beberapa asas hukum, yaitu:
1. Asas Ijbari
Salah satu asas yang sangat prinsipil dalam hukum kewarisan Islam adalah asas ijbari. Asas ini mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya tanpa tergantung kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya. Jadi begitu seseorang dinyatakan meninggal dunia secara hukum, maka pada saat itu juga hukum menganggap harta warisan pewaris beralih menjadi hak milik para ahli warisnya. Adapun masalah kapan penyerahan harta warisan pewaris itu kepada masing-masing ahli warisnya, hal ini tergantung kepada hasil mufakat para ahli waris tersebut.[32]
2. Asas Bilateral
Asas Bilateral dalam hukum waris berarti seseorang ahli waris menerima hak atau bagian warisan dari kerabat keturunan laki-laki dan kerabat keturunan perempuan. Asas ini tidak membedakan laki-laki dan perempuan dari segi keahliwarisan, sehingga tidak mengenal kerabat dzawil arham. Asas ini didasarkan kepada ketentuan Pasal 174 dan 185 Kompilasi Hukum Islam uang merujuk kepada garis-garis hukum yang tercantum dalam Al Quran. Dalam ayat-ayat kewarisan tersebut Allah memberi hak kepada kerabat laki-laki dan kerabat perempuan untuk menerima warisan dari jalur kekerabatan laki-laki dan dari jalur kekerabatan perempuan.[33]
3. Asas Individual
Yang dimaksud dengan asas individual adalah bahwa harta warisan yang sudah terbuka dan dibagikan kepada ahli warisnya itu adalah untuk dimili secara perorangan, untuk itu dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut porsi masing-masing. Di sini setiap ahli waris berhak sepenuhnya atas bagian yang diterimanya tanpa terkait dengan ahli waris yang lain, karena bagian masing-masing sudah ditentukan.[34]
4. Asas Warisan Terbuka Karena Kematian
Peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan cara mewarisi hanya terjadi setelah seseorang pemilik harta tersebut meninggal dunia. Peralihan harta dari seorang pemilik yang masih hidup kepada anak keturunannya tidak dapat dikatakan beralih secara warisan. Ada beberapa macam peralihan harta dari seseorang kepada orang lain dalam kaitannya dengan kewarisan. Pertama, Hibah adalah pemberian secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang yang masih hidup kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki, dan penyerahannya berlaku pada saat penghibah masih hidup. Kedua, Wasiat adalah pemberian dari seseorang yang masih hidup kepada orang lain yang masih hidup atau kepada lembaga, tetapi berlakunya peralihan hak itu setelah orang yang berwasiat tersebut meninggal dunia. Ketiga, Warisan adalah peralihan harta benda yang menjadi milik maupun yang menjadi hak-hak seseorang yang telah meninggal dunia kepada para ahli warisnya secara otomatis dengan tidak memerlukan persetujuan dan kerelaan dari si pemilik harta terlebih dahulu.[35]
2.5 Penyebab Saling Mewarisi
Ada tiga penyebab terjadinya saling mewarisi antara seseorang dan orang yang lainnya yang disepakati ulama fikih : 1) hubungan keturunan (nasab) atau hubungan kekerabatan (al-qarabat), 2) hubungan semeda (az-zaujiyyah), 3) memerdekakan hambanya (wala).[36]
1. Hubungan keturunan (nasab) atau hubungan kekerabatan (al-qarabah)
Hubungan kekerabatan atau hubungan keturunan adalah hubungan keluarga yang disebabkan oleh melahirkan. Hubungan kekerabatan disebut juga hubungan berdasarkan pertalian darah. Yang termasuk keluarga dengan hubungan keturunan dalam konteks kewarisan ialah:
a) Furu Al-Mayyit
Yaitu anak dan cucu hingga kebawah
b) Asl Al-Mayyit
Yaitu bapak/ibu dan kakek/nenek ke atas
c) Al-Hawasyi
Yaitu saudara dari yang sudah meninggal, baik saudara kandung, saudara se-bapak, maupun saudara se-ibu
2. Hubungan Semenda (az-zaujiyyah)
Hubungan semenda yaitu hubungan keluarga yang terjadi karena perkawinan. Setiap perkawinan yang sah menyebabkan saling mewarisi antara suami istri, baik telah terjadi hubungan badan atau belum. Apabila terjadi talak antara suami istri dengan talak raj’i, sepanjang idah belum habis maka keduanya tetap saling mewarisi. Talak bukan merupakan pemutus hubungan perkawinan, kecuali idah wanita yang telah ditalak habis.
Perbedaan pendapat terjadi di antara ulama fikif mengenai istri yang telah dijatuhi talak ba’in ketika suaminya dalam keadaan sakit yang membawa kematiannya (talak firar, yaitu talak yang dijatuhkan dengan maksud agar istri tidak mewarisi suami), menurut Mazhab Hanafi, apabila idahnya belum habis, istri tersebut masih berhak mewarisi suaminya. Argumen yang mereka ajukan adalah bahwa tujuan menjatuhkan talak agar istrinya tidak mewarisi suami tidak berlaku (tidak dapat diterima). Mazhab Hanbali berpendapat bahwa istri tersebut tetap berhak mewarisi suaminya sekalipun sudah bisa masa idahnya selama istri tersebut belum kawin lagi.
3. Memerdekakan Hamba (wala)
Hak mewarisi karena memerdekakan hamba (wala) hanya ada di tangan orang yang memerdekakan. Adapun hamba yang dimerdekakan tidak memiliki hak mewarisi atas tuan yang memerdekakannya.[37]
2.6 Ahli Waris
Ahli waris ialah orang-orang yang berkepentingan atas peristiwa wafatnya seseorang berhubungan dengan adanya suatu harta kekayaan yang tersedia untuk dipergunakan akan keperluan keselamatan masyarakat (Orang yang berhak menerima warisan (harta pusaka)).[38]
2.6.1 Para Ahli Waris
2.6.1.1 Ahli Waris dari Golongan Laki-laki
1. Anak laki-laki.
2. Anak laki-lakidari anak laki-laki (cucu) dari pihak anak laki-laki, dan terus kebawah, asal pertaliannya masih terus laki-laki.
3. Bapak.
4. Kakek dari pihak bapak, dan terus ke atas pertaliannya yang belum putus dari pihak bapak.
5. Saudara laki-laki seibu sebapak.
6. Saudara laki-laki sebapak saja.
7. Saudara laki-laki seibu saja.
8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak.
9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja.
10. Saudara laki-laki bapak (paman) dari pihak bapak yang seibu sebapak.
11. Saudara laki-laki bapak yang sebapak saja.
12. Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang seibu sebapak.
13. Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang sebapak saja.
14. Suami.
15. Laki-laki yang memerdekakannya (mayat).[39]
2.5.1.2 Ahli Waris dari Golongan Perempuan
1. Anak perempuan.
2. Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, asal pertaliannya dengan meninggal masih terus laki-laki.
3. Ibu.
4. Ibu dari bapak.
5. Ibu dari ibu terus ke atas pihak ibu sebelum berselang laki-laki.
6. Saudara perempuan yang seibu sebapak.
7. Saudara perempuan yang sebapak.
8. Saudara perempuan yang seibu.
9. Istri.
10. Perempuan yang memerdekakan si mayat.[40]
2.6.1.3 Ahli Waris Kandungan
2.6.1.3.1 Syarat-syarat Kandungan Mewaris
Janin dalam kandungan kandungan berhak menerima waris dengan memenuhi dua persyaratan:
1. Janin tersebut diketahui secara pasti keberadaannya dalam kandungan ibunya ketika pewaris
Wafat
2. Bayi dalam keadaan hidup ketika keluar dari perut ibunya, sehingga dapat dipastikan sebagai anak berhak mendapat warisan.
Syarat pertama dapat terwujud dengan kelahiran bayi dalam keadaan hidup. Dan keluarnya bayi dalam kandungan maksimal dua tahun sejak kematian pewaris, jika bayi yang ada dalam kandungan itu anak pewaris. Hal ini berdasarkan pernyataan Aisyah r.a.: “Tidaklah janin aan menetap dalam rahim ibunya melebihi dari dua tahun sekalipun berada dalam falkah mighzal.”
Pernyataan Aisyah r.a tersebut dapat dipastikan bersumber dari penjelasan Rasulullah SAW. Pernyataan ini merupakan pendapat Mazhab Hanafi dan merupakan salah satu pendapat Imam Ahmad.
Adapun Mazhab Syafi’i dan Maliki berpendapat bahwa masa masa janin dalam kandungan maksimal empat tahun. Pendapat inilah yang paling akurat dalam Mazhab Imam Ahmad, Seperti yang disinyalir para ulama Mazhab Hambali.
Sedangkan Persyaratan kedua dinyatakan sah dengan keluarganya bayi dalam keadaan nyata-nyata hidup. Dan tanda kehidupan yang tampak jelas bagi yang baru lahir adalah jika bayi tersebut menangis, bersin, mau menyusui ibunya, atau yang semacamnya. Bahkan, menurut Mazhab Hanafi, hal ini bisa ditandai dengan gerakan apa saja dari bayi tersebut.
Adapun menurut Mazhab Syafi’i dan Hambali, bayi yang baru keluar dari dalam rahim ibunya dinyatakan hidup bila melakukan gerakan yang lama hingga cukup menunjukkan adanya kehidupan. Bila gerakan itu hanya sejenak seperti gerakan hewan yang di potong, maka tidak berhak mewarisi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW.: “Apabila bayi yang baru keluar dari rahim ibunya menangis (kemudian mati), maka hendaklah dishalati dan berhak mendapatkan warisan.”
Namun, apabila bayi yang keluar dari rahim ibunya dalam keadaan mati, atau ketika keluar separo badannya hidup tetapi kemudian mati, atau ketika keluar dalam keadaan hidup tetapi tidak stabil, maka tidak berhak mendapatkan waris, dan ia dianggap tidak ada.[41]
2.6.1.3.2 Keadaan Janin
Bagi Janin Mempunyai Lima Keadaan, tidak bertambah dan tidak berkurang,
yaitu :
a. Ia tidak menjadi pewaris dalam segala keadaan, baik ia laki-laki atau perempuan.
b. Ia mewaris berdasarkan salah satu di antara dua pemikiran (anggaplah) laki-laki atau perempuan, dan ia tidak mewaris berdasarkan takdir lainnya.
c. Ia menjadi pewaris dalam segala keadaan, baik ia laki-laki atau perempuan.
d. Warisannya tidak berbeda atas dasar salah satu di antara dua takdir, baik ia laki-laki atau perempuan
2.6.1.4 Ahli Waris Anak Angkat dan Orang Tua Angkat
Ketentuan hukum pada status anak angkat, yaitu bukan ahli waris. Anak angkat atau orang tua angkat yang termasuk keluarga dekat dengan si pewaris sudah sepatutnya mendapat bagian dari harta peninggalan melalui wasiat. Namun apabila pewaris lalai tidak memberikan wasiat, maka demi keadilan Pengadilan Agama dapat menerbitkan penetapan bahwa ia berhak mendapat wasiat wajiblah dalam putusan Declaratoir.
Hal lain yang merupakan aturan baru di bidang hukum waris Islam, antara lain diatur dalam pasal 211 KHI, yang menentukan bahwa “hibah dari orangtua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.” Ketentuan hukum ini telah menggeser prinsip hukum yang memastikan bahwa suatu hibah tidak dapat ditarik kembali. Kepastian hukum tersebut ternyata seringkali mengorbankan tujuan hukum yang sesungguhnya yaitu demi keadilan.
Ada suatu kewajiban menurut ajaran Islam bahwa orang tua berbuat adil kepada anak-anaknya. Pemberian hibah oleh orang tua kepada anak-anaknya harus dilakukan secara adil. Apabila terjadi hibah yang dirasa tidak adil oleh salah seorang anaknya, maka ia dapat menuntut agar hibah tersebut diperhitungkan dalam pembagian warisan.[43]
2.6.1.5 Ahli Waris Beda Agama
Persyaratan untuk mendapatkan waris alah satunya adalah beragama Islam. Jadi apabila ada ahli waris yang berpindah agama, maka ia akan kehilangan haknya sebagai ahli waris. Hal ini dapat menimbulkan kesan ketidakadilan di dalam hukum waris Islam. Misalnya, diantara anak kandung ada yang pindah agama, sedangkan saudara-saudaranya yang lain tetap beragama Islam sesuai dengan agama orang tuanya. Pada waktu pembagian warisan akan terasa ketidakadilan itu. Semua saudara-saudara kandungnya menerima harta warisan sementara dia-yang pindah agama- tidak mendapatkan apa-apa. Padahal menurut ajaran Islam tidak ada paksaan dalam beragama.
Dalam rangka menerapkan hukum waris Islam yang berkeadilan, Mahkamah Agung telah mengeluarkan yurisprudensi No. 51.K/AG/1999. Tanggal 29 September 1999. Yang pada prinsipnya memutuskan bahwa anak kandung yang telah pindah agama mendapat wasiat wajibah. Putusan ini tidak berarti bertentangan dengan syariat Islam, putusan ini berarti bertentangan dengan syariat, karena anak tersebut tidak ditetapkan sebagai ahli waris. Sebagai seorang yang dekat dengan pewaris adalah adil apabila dia mendapatkan bagian dari harta peninggalan orang tuanya melalui wasiat wajibah.
Apabila ada ahli waris yang telah pindah agama kemudian demi mendapatkan status sebagai ahli waris yang sah ia menyatakan masuk Islam lagi, maka perlu diteliti kebenaran tersebut. Dalam hal ini pasal 172 KHI, memberi pedoman bahwa ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian , sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.[44]
2.6.1.6 Ahli Waris Banci atau Wadam
Orang banci – menurut pendapat yang kuat – harus diperlakukan dengan merugikan. Maka harus diperhatikan hak-haknya dari mewaris dengan memperhatikan kedua takdirnya: laki-laki dan perempuannya. Maksudnya, ditakdirkan baginya dua masalah : pertama, ia ditakdirkan laki-laki. Kedua, ia ditakdirkan perempuan. Kemudian orang banci itu diberi bagian terkecil di antara dua bagian masalah itu. Dan selisih di antara keduanya disimpan sampai jelas keadaannya, atau ahli waris berdamai, atau orang banci itu sendiri mati, sehingga bagiannya dikembalikan kepada ahli warisnya.
Pengertian memperlakukan orang banci dengan cara merugikan adalah bahwa apabila ia mewarisi pada setiap keadaan, dan bila ditakdirkan perempuan, bagian warisnya lebih sedikit, maka ia ditakdirkan perempuan. Jika ditakdirkan laki-laki bagian warisnya lebih sedikit maka ia ditakdirkan laki-laki.
Apabila dalam dua pentakdiran itu ia tidak mendapatkan warisan, maka ia tidak mendapat apa-apa. Demikian juga apabila salah satu ahli waris ada yang tidak mendapat apa-apa karena bersama orang banci yang ditakdirkan laki-laki atau perempuan itu, maka ia harus terhalang dari mendapat warisan. Demikianlah pendapat terkuat dalam madzhab Imam Syafi’i.[45]
2.6.1.7 Ahli Waris Pengganti
Dalam hal mewaris menurut undang-undang dibedakan:
1. Mewaris langsung
Mewaris langsung ialah orang itu mewaris dalam kedudukan sebagai waris langsung karena diri sendiri.
2. Mewaris tidak langsung (dengan cara mengganti)
Mewaris tidak langsung / mewaris karena pergantian ialah mewaris untuk orang yang sudah meninggal terlebih dahulu daripada si pewaris. Ia menggantikan ahli waris yang telah meninggal lebih dahulu dari si pewaris.
Sebagai perbandingan, sistem kewarisan Islam yang diragukan dalam kompilasi hukum Islam juga mengenal istilah “Ahli Waris Pengganti”. Hal ini dijelaskan dalam pasal 185 ayat 1 KHI: seorang ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris dapat digantikan kedudukan oleh anaknya, kecuali mereka terhalang menjadi ahli waris (seperti halnya onwaardig dalam waris barat). Bagian ahli waris pengganti juga tidak boleh melebihi yang digantikannya (pasal 185 ayat 2 KHI). [46]
2.6.1.8 Ahli Waris / Warisan Orang Hilang
Para ahli hukum Islam telah menetapkan hukum-hukum bagi orang hilang. Ia tidak boleh diwarisi hartanya dan tidak boleh dikawini istrinya, dan tidak boleh pula dibelanjakan hak-haknya sampai diketahui keadaan dan jelas urusannya; masih hidup atau sudah mati, pada umumnya ia sudah mati dan hakim menetapkan kematiannya. Para ulama juga telah menetapkan hidupnya berdasarkan istishabul hal, yang menetapkan berdasarkan tetapnya asal, sehingga jelas hal yang sebaliknya. Mengingat pernyataan Ali r.a. tentang seorang istri laki-laki yang hilang, katanya: “Ia adalah perempuan yang di uji, maka hendaknya ia bersabda ia tidak boleh dikawini sehingga datang kepadanya suatu keyakinan akan kematian suaminya.”[47]
2.6.1.9 Ahli Waris / Warisan Orang Tenggelam Atau Tertimpa Reruntuhan
Kaidah tentang pemberian waris kepada orang yang mengalami peristiwa tenggelam atau tertimpa reruntuhan, adalah kita diperhatikan orang yang mati terlebih dahulu. Apabila diketahui yang lebih dulu mati di antara mereka, maka hukumnya akan muncul, yaitu kita berikan warisan orang pertama kepada orang kedua. Kemudian sesudah matinya orang kedua, warisannya berpindah kepada ahli warisnya. Oleh karena itu apabila terjadi peristiwa tenggelam bagi dua orang bersaudara, lalu salah satunya meninggal, kemudian tidak lama lagi yang lain juga meninggal, maka saudara kedua yang masih hidup sesaat saudaranya meninggal, ia berhak mewaris dari saudara pertama, sekalipun hidupnya itu sesaat saja sesudah kematian saudaranya. Di samping itu, ia memenuhi persyaratan dalam mewaris, yaitu nyata-nyata hidupnya ahli waris sesudah pemberi waris.
Apabila terjadi tenggelam bersama-sama, atau terbakar bersama, lalu keduanya mati tanpa diketahui mana yang mati lebih dulu, mak di antara keduanya tidak bisa saling mewaris. Inilah pengertian dai pernyataan para ahli hukum Islam: ”Tidak bisa saling mewaris antara orang yang tenggelam dan tertimpa reruntuhan. Demikian juga antara dua orang yang binasa karena suatu peristiwa.”
Hal ini disebabkan karena tidak terpenuhinya syarat mewaris. Kita wajib memberikan harta masing-masing kepada ahli warisnya yang masih hidup. Kita tidak diperkenankan memberikan warisan kepada salah seorang di antara mereka dari lainnya.[48]
2.7 Pembagian Golongan/Harta Ahli Waris
1. Dzul Faraidh / Ashabah Furudh (Bagian Tertentu)[49]
Ø Bagian ½ (jika pewaris tidak punya anak)
· Suami → Syarat : Tidak ada keturunan pewaris dari pihak laki-laki
· Anak perempuan → Syarat : Anak tunggal
· Cucu perempuan dari laki-laki → Syarat : Sendirian
· Ukhtum Syaqiq → Syarat : tidak ada saudara (sendirian)
· Saudara Perempuan seayah (ukhtun liah) → Syarat : Sendirian
Ø Bagian ¼
· Suami → Syarat : jika pewaris punya anak
· Istri → Syarat : jika pewaris tidak punya anak
Ø Bagian 1/8
· Hanya istri
o Jika punya anak
o Jika istri lebih dari 1 maka syirkah
Ø Bagian 2/3
· 2 anak perempuan atau lebih → Syarat : tidak ada anak laki-laki
· 2 cucu perempuan atau lebih dari jalur laki-laki
→ Syarat :
o Tidak ada pewaris yang masih hidup
o Tidak mewaris bersama cucu laki-laki
· 2 saudara kandung (ukhtun aqiqah)
→ Syarat :
o Tidak ada ayah / kakek
o Tidak mewaris bersama saudara laki-laki pewaris
· 2 atau lebih saudara perempuan seayah
→ Syarat :
o Tidak ada ayah / kakek
o Tidak mewaris bersama saudara kandung laki-laki / wanita
Ø Bagian 1/3
· Ibu
→ Syarat :
o Tidak ada anak/cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki
o Tidak ada 2 saudara atau lebih baik saudara kandung maupun saudara se-ayah atau se-ibu
· Saudara laki-laki dan perempuan se-ibu 2 orang atau lebih
→ Syarat :
o Tidak ada anak (laki-laki / perempuan)
o Tidak ada ayah / kakak
o Jumlah saudara 2 orang atau lebih
Ø Bagian 1/6
· Ayah → Syarat : Jika pewaris punya anak
· Ibu
→ Syarat :
o Jika pewaris punya anak laki-laki/wanita/cucu laki-laki dari keturunan laki-laki
o 2 orang saudara atau lebih
· Nenek → Syarat : dari ibu / bapak jika pewaris tidak punya ibu
· Cucu wanita keturunan anak laki-laki → Syarat : jumlahnya 1 orang / lebih
· Saudara perempuan se-ayah
· Saudara perempuan / laki-laki se-ibu
2. Dzulqarabah / ashabah (bagian sisa)[50]
Ø Ashabah Binafsihi (keturunan laki-laki tanpa dicampuri keturunan wanitan)
· Arah anak → Syarat : seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki
· Arah bapak→ Syarat : ayah,kakek, dst..
· Arah saudara laki-laki → Syarat : saudara laki-laki se-ayah, saudara kandung laki-laki dan keturunannya
· Arah paman → Syarat : paman kandung, paman se-ayah dan keturunannya
Ø Ashabah Bil Ghairi (semuanya wanita)
· Anak perempuan → Syarat : jika bersama saudara laki-laki
· Cucu perempuan keturunan laki-laki → Syarat : jika dengan saudara laki-laki
· Saudara kandung perempuan → Syarat : jika dengan saudara laki-laki
· Saudara perempuan se-ayah → Syarat : jika dengan saudara laki-laki
Ø Ashabah Ma’al Ghairi
· Saudara perempuan kandung / seayah
→ Syarat : jika bersama anak perempuan dan pewaris tidak ada anak laki-laki
3. Dzul Arham (dzawul arham)[51]
Ø Kerabat jauh / ahli waris pengganti
Ø Baru mewaris jika ahli waris Dzul-Faraidh dan Ashabah serta Baitul Mal tidak ada
2.8 Penghalang Untuk Wewaris
Ada tiga hal yang disepakati oleh Ulama Fikih[52] , kecuali Mazhab Maliki, yang menghalangi orang untuk waris-mewaris :
1) Karena membunuh
2) Berbeda agama
3) Perbudakan
Dan menurut Mazhab Maliki ada 10 penghalang untuk saling waris-mewaris[53], yaitu:
1) Berbeda agama
2) Perbudakan
3) Membunuh dengan sengaja
4) Lian
5) Anak zina
6) Keraguan tentang apakah orang yang akan diwarisi hartanya sudah meninggal atau belum
7) Kehamilan, dalam hal ini ditunda pembagian harta warisannya sampai anak yang dikandung tersebut lahir
8) Ada keraguan mengenai hidupnya (ahli waris) anak yang dilahirkan
9) Keraguan mengenai siapa yang lebih dahulu meninggal antara dua orang yang akan saling mewarisi
10) Keraguan tentang jenis kelamin. Untuk ini ditunda pembagian harta warisan sampai dapat dipastikan jenis kelaminnya.
BAB III
KESIMPULAN
Dengan penjelasan-penjelasan mengenai hukum waris di atas, maka dapat di simpulkan bahwa :
- Waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup.
- Dasar Hukum pembagian waris Islam sendiri itu ada tiga, yaitu Al Quran, Hadits dan Ijma’
- Persamaan asas-asas yang pada hukum waris Islam dengan hukum waris KUH Perdata sama-sama berasas individual, berasas bilateral, berasas kematian, berasas perderajatan, serta berasas kemanfaatan. Sedangkan perbedaannya, hukum waris Islam berasas ketauhidan, berasas ijbari, berasas keadilan berimbang, berasas personalitas keislaman, dan berasas tasaluh, sementara dalam hukum waris KUH Perdata berasas persamaan secara absolut, dan berasas peralihan secara otomatis.
- Ahli waris adalah orang-orang yang mendapatkan hak memperoleh harta peninggalan dari orang yang telah meninggal yang masih mempunyai hubungan darah.
- Pembagian antara hukum waris Islam dan KUH Perdata sangat berbeda, hukum waris Islam tidak memperhatikan segi persamaan porsi tetapi lebih memperhatikan perbedaan hak dan kewajiban antara laki- laki dengan perempuan. Perbedaan porsi warisan yang diterima laki-laki lebih besar dari perempuan
a. karena adanya perbedaan kewajiban yang dipikul laki- laki lebih besar daripada perempuan. Hal ini berbeda dengan kewarisan menurut KUH Perdata yang memandang sama hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan, sehingga tidak ada perbedaan porsi warisan yang diterima laki-laki dengan perempuan dalam sistem pewarisan
b. Bagian-bagian yang diperoleh ahli waris menurut hukum waris Islam telah di tetapkan dalam Al Quran, sehingga tidak ada kata tidak adil karena Al Quran adalah Firman Allah SWT. Yang di jamin kebenarannya.
· Hukum waris Islam mempunyai nilai keadilan lebih menyeluruh dengan mempertimbangkan faktor-faktor sosio-kultural yang memang memperlihatkan adanya perbedaan status dan kewajiban antara laki-laki dengan kaum perempuan. Sedangkan hukum waris menurut KUH Perdata memiliki nilai keadilan yang lebih menekankan persamaan secara absolut antara sesama manusia, baik laki-laki maupun perempuan
- Sebelum di lakukan pembagian harta waris terdapat beberapa hak yang harus di dahulukan. Ha-hak tersebut adalah :
a. Hak yang bersangkutan dengan harta itu, seperti zakat dan sewanya.
b. Biaya untuk mengurus mayat, seperti harga kafan, upah menggali tanah kubur, dan sebagainya. Sesudah hak yang pertama tadi di selesaikan, sisanya barulah di pergunakan untuk biaya mengurus mayat.
DAFTAR PUSTAKA
www.wikipedia.com
Al-Jumanatul, 2005, Al-Quran Terjemah, Bandung: CV Penerbit J-Art.
Kumpulan dan Referensi Belajar Hadits dan Al Quran (Aplikasi OS Windows: Hadits web.3.0).
Prodjodikiro, Wirjono, 1980, Hukum Waris di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung.
Perangin, Effendi, 2013, Hukum Waris, Jakarta: Rajawali Pers.
Shabuniy, Muhammad Ali Ash, 1995, Hukum Waris Islam, Surabaya: Al-Ikhlas.
Purnamasari, Irma Devita, 2012, Kiat-kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris, Bandung: PT Mizan Pustaka.
Ritonga, Rahman, dkk, 2001, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Rasjid, Sulaiman, 1994, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Islam), Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Afdol,2003,Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil, Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP).
Nursadi, Harsanto, 2014, Sistem Hukum Indonesia, Banten: Penerbit Universitas Terbuka.
[2] Ibid., Diakses tanggal 2 Desember 2016
[3] Harsanto Nursadi, Sistem Hukum Indonesia (Banten: Penerbit Universitas Terbuka, 2014). Hlm 5.90-5.91.
[4] Ibid., Hlm 5.92-5.93
[5] Ibid., Hlm 5.93-5.94.
[6] Abdul Aziz Dahlan, Eksiklopedia Hukum Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996). Hlm 571.
[7] Ibid., Hlm 572.
[8] Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikiro S.H, Hukum Waris Islam (Bandung: Sumur Bandung, 1980).
Hlm 7.
[9] Effendi Perangin, S.H, Hukum Waris (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013) Hlm 3.
[10] Abdul Aziz Dahlan, Eksiklopedia Hukum Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996). Hlm 308
[11] Kumpulan dan Referensi Belajar Hadits dan Al-Quran (Aplikasi OS Windows, HaditsWeb 3.0)
[29] Abdul Aziz Dahlan, Eksiklopedia Hukum Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996). Hlm 308
[30] Ibid.
[31] Drs. H. M Anshary MK, SH., MH., Hukum Kewarisan Islam Indonesia (Bandung: CV. Mandar Maju, 2013). Hlm 19-20.
[32] Ibid., Hlm 21.
[33] Ibid., Hlm 23.
[34] Ibid., Hlm 25.
[35] Ibid., Hlm 27.
[36] Abdul Aziz Dahlan, Eksiklopedia Hukum Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996). Hlm 309.
[37] Ibid.
[38] Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikiro S.H, Hukum Waris Islam di Indonesia (Bandung: Sumur Bandung, 1980) Hlm 24
[39] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Penerbit Sinar baru Algensindo, 1994). Hlm 349-350
[40] Ibid., Hlm 350
[41] Muhammad Ali Ash Shabuniy, Hukum Waris Islam ( Surabaya: Al-Ikhlas, 1995). Hlm 240-241.
[42] Ibid., Hlm 242-243.
[43] Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil (Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair, 2003). Hlm 101
[44] Ibid., Hlm 97-98
[45] Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Hukum Waris Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995). Hlm 236
[46] Irma Devita Purnamasari, S.H., M.kn., Hukum Waris (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2014). Hlm 45
[47] Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Op. Cit., Hlm 250
[48] Ibid., Hlm 257-258.
[49] Irma Devita Purnamasari, S.H., M.kn., Hukum Waris (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2014). Hlm 32
[50] Ibid., Hlm 31.
[51] Ibid., Hlm 31.
[52] Abdul Aziz Dahlan, Eksiklopedia Hukum Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996). Hlm 316.
[53] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar