Rabu, 08 Maret 2017

MAKALAH KEADILAN DAN PENEGAKAN HUKUM ISLAM DALAM PRESPEKTIF AL-QUR'AN

MAKALAH
KEADILAN DAN PENEGAKAN HUKUM DALAM PRESPEKTIF AL-QURAN
TUGAS MATA KULIAH AL-QUR’AN HADIST
DOSEN PENGAMPU: Khoirul Anam,

DISUSUN OLEH :
ACHMAD THAUFIK
NIM: 16340063

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA


KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Mata Kuliah Al-Quran Hadist dengan judul KEADILAN DAN PENEGAKAN HUKUM DALAM PRESPEKTIF AL-QURAN dengan tepat waktu.
            Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya sampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.  
            Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
             Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

  
                                                                                 Yogyakarta, 

 Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Datang dengan membawa aqidah, keagaam atau ketentuan moral dan sebuah etika yang menjadi dasar sesorang bermasyarakat, tapi juga membawa syariat yang jelas mengatur, berperilaku dan berhubugan antara satu dengan yang lainnya dalam segala aspek. Aspek tersebut meliputi individu, keluarga, hubungan individu dengan masyarakat dan hubungan-hubungan yang lebih luas lagi.
Dalam sejarah telah memperlihatkan bahwa Rasulullah SAW sebagai Nabi dan Rasul  yang terakhir berhasil mendirikan suatu sistem pemerintahan, kemudian sistem pemerintahan tersebut berpengaruh dan berkembang keeluruh penjuru dunia. Beliau juga berhasil menguasai fikiran, keyakinan dan jiwa umatnya, bahkan mengadakan sebuah revolusi berfikir dalan jiwa-jiwa bangsa, hanya berdasarkan Al-Qur’an yang setiap huruf dan katanya telah menjadi hukum bagi umat islam bahkan menjadi dari hukum sebuah negara.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa kekuatan hukum di Indonesia itu berasal dari Hukum Islam yang mana Islam itu sendiri adalah agama mayoritas di Indonesia, namun di Indonesia sebagian besar masyarakatnya masih menganut sistem hukum adat.
Maka dari itu, pembuatan makalah ini dilatar belakangi adanya asumsi bahwa praktik penegakan hukum Islam di peradilan agama Indonesia yang lebih banyak di dasarkan kepada hukum adat dan bukan kepada hukum Islam yag murni. Padahal dalam Islam, setiap muslim dikehendaki untuk tunduk, taat, dan patuh kepada hukum Islam dengan tetap mengacu kepada Al-Quran dan Sunnah, tak terkecuali dalam melaksanakan hukum Islam itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
a. Apa yang pengertian dari hukum Islam?
b. Apa pengertian keadilan dalam Islam?
c. Sebutkan ayat tentang keadilan!
d. Jelaskan penafsiran dari beberapa ahli tafsir!

C. Tujuan Makalah
a. mengetahui pengertian tentang hukum keadilan islam
b. mengetahui ayat-ayat tentang keadilan
BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Hukum Islam
Keadilan hukum Islam tidak ditemukan dama sekali di dalam Al-Quran dan literatur hukum dalam Islam. Yang ada dalam Al-Quran adalah kata syariah, fiqh, hukum Allah dan seakar dengannya. Kata-kata hukum Islam merupakan terjemahan dari term “ISLAMIC LAW” dari literatur Barat.
Dalam penjelasan tentang hukum Islam dari literatur  Barat ditemukan definisi hukum Islam Yaitu; Keseluruhan kitab Allah yang mengatur Hukum Islam lebih dekat dengan pengertian Syariah.
Hasbi Asy-Syiddinqy memberikan kejelasan tentang arti hukum islam, perlu diketahui lebih dahulu arti dari kata “hukum”. Sebenarnya tidak ada arti yang sempurna tentang hukum. Namun, untuk mendekatkan kepada pengertian yang mudah dipahami, meski masih mengandung kelemahan, definisi yang diambil oleh Muhammad Muslehiddin dari Oxford Eenglish Dictionary perlu diungkapkan. Menurutnya, hukum adalah “the body of rules, whether proceeding from formal enactment of from custom, which a particular state or community recognizes as binding on its members or subject”. (Sekumpulan aturan, baik yang berasal dari aturan formal maupun adat, yang diakui oleh masyarakat dan bangsa tertentu sebagai mengikat bagi anggotanya).
Bila hukum dihubungkan dengan Islam, maka hukum Islam berarti: “Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallah yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.”
Dari definisi yang dikemukakan di atas dapat, dipahami bahwa huku Islam mencangkup hukum syariah dan hukum fikih, karena arti syara’ dan fikih terkandung di dalamnya.[1]  

2.      Pengertian Keadilan/Adil

ADIL (Ar.: al-‘adl). Salah satu sifat yang harus dimiliki oleh manusia dalam rangka menegakkan kebenaran kepada siapa pun tanpa kecuali, walaupun akan merugikan dirinya sendiri.
Secara etimologis, al-‘adl “tidak berat sebelah, tidak memihak, atau menyamakan yang satu dengan yang lain (Al-musawah)”. Istilah lain dari Al-‘Adl adalah Al-Qist, Al-Misl (sama bagian atau semisal).
Seacara terminologis, adil berarti ”mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu iu menjadi tidak berat sebelah dan berbeda satu sama lain”. Asil juga berarti “berpihak atau berpegang kepaada kebenaran”.
Keadilan lebih menitikberatkan pada pengertian “meletakkan sesuatu pada tempatnya” (Wad’ Asysyai’ fi mawamih). *Ibnu Qudamah (ahli fikih Mazhab *Hanbali) mengatakan bahwa keadilan merupakan sesuatu yang tersembunyi, motivasinya semata-mata karena takut pada Allah SWT. jika keadilan telah dicapai, maka itu merupakan dalil yang paling kuat dalam Islam sselama belum ada dalil yang lain yang menetapkannya.
Berlaku adil sangat terkait dengan hak dan kewajiban. Hak yang dimiliki oleh seseorang, termasuk hak asasi, wajib diperlakukan secara adil. Hak dan kewajiban terkait pula dengan amanah. Sementara amanah wajib diberikan kepada yang berhak menerimanya. Oleh karena itu hukum berdasarkan amanah harus ditetapkan secara adil tanpa dibarengi rasa kebencian dan sifat negatif lainnya (QS.4:58 dan 5:8).
Allah SWT disebut sebagai “Yang Maha Adil dan Bijaksana” terhadap semula hamba-Nya, karena Allah SWT tidak mempunyai kepentingan apa-apa dari perbuatan yang dilakukan oleh hamba-Nya. Jika manusia berbuat kebaikann, maka tidak akan mempengaruhi kemahaadilan-Nya. Demikian juga jika manusia berlaku lalim kepada-Nya tidak akan mengurangi Kemahaadilan-Nya itu. Apa yang diperbuat oleh manusia, apakah kebaikan atau kelaliman, hasilnya akan diterima oleh manusia itu sendiri (QS.41:46 dan 45:15).
Dalam periwayatan hadis, unsur al-‘adl (adil) merupakan salah satu kriteria seorang perawi (penyampai hadis) untuk menentukan apakah hadis yang diriwayatkannya sahih atau tidak. Adil dalam ilmu hadis berarti “ketaatan menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya, menjauhkan diri dari perbuatan keji, memelihara hak dan kewajiban, memelihara lidah kata-kata yang dapat merusak ajaran agama, dan berani menegakkan yang benar (muruah)”. Jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa semua sahabat Nabi Sahabat nabi SAW adalah adil dan tidak perlu lagi membahas keadilan mereka dalam meriwayatkan hadis dan persaksian mereka.
Dalam beberapa bidang Islam, persyaratan adil sangat menentukan benar atau tidaknya dan sak atau batalnya suatu pelaksanaan hukum. Dalam Al-Quran banyak ayat yang memerintahkan manusia atau batalnya suatu pelaksanaan hukum. Salam Al-Quran banyak ayat yang memerintahkan manusia utuk berlaku adil dalam segala hal, walaupun akan merugikan diri sendiri. Di antara ayat tersebut adalah: perintah agar manusia berlaku adil dan berbuat kebaikan serta menjauhkan diri dari perbuatan keji dan mungkar (QS.16:90): perlakuan adil wajib ditegakkan terhadap siapa saja, kendati terhadap orang yang seagama (QS.42:15); alasan apapun tidak dapat diterima untuk berlaku adil, termasuk ketidaksenangan  terhadap orang tertentu (QS.5:8); dan berlaku adil akan lebih mendekatkan ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT (QS.5:8).
Dalam peradilan juga disyariatkan oleh Allah SWT untuk berlaku adil. Beberapa ayat AL-Quran menjelaskan kewajiban bagi para penegak hukum untuk berlaku adil dalam menetapkan atau memutuskan perkara di antara manusia sebagai pencari keadilan (QS.4:58 dan 5:42) siapa yang tidak menetapkan hukum berdasarkan apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT berarti ia termasuk kafir serta berlaku aniaya dan fasik (QS.5:44;45 dan 47). Maksud dari “apa yang telah diturunkan  oleh Allah SWT” itu antara lain; berlaku adil, membayar amanah kepada yang berhak menerimanya, tidak memutuskan hukum berdasarkan hawa nafsu, dan sebagainya (QS.5:42;49 dan 4:58).
Imam *Abu Hanifah dan Imam Asy-*Syafi’i menggarisbawahi kewajiban hakim untuk berlaku adil di antara dua orang pihak yang berperkara. Hal ini sesuai dengan surat Amr bin Abi Syaibah (salah seorang sahabat) yang dikirimi ke Basra dalam bidang peradilan dengan sanad dan Ummu Salamah yang diyakini Rasulullah SAW berkata bahwa siapa saja yang diserahi tugas sebagai hakim harus berlaku adil dalam ucapan, tindak tanduk, dan kedudukan. Hakim tidak boleh meninggikan suara kepada salah satu pihak sementara melembutkan kepada pihak lain. Demikian juga surat Umar bin al-Khattab kepada Abu Musa al-Asy’ari (sahabat yang menjadi kadi di kufah). Surat itu antara lain berbunyi: “samaratakanlah manusia dalam pandangan, kedudukan, dan keputusanmu sehingga tidak ada celah bagi orang terpandang yang menginginkan agar kamu menyeleweng. Begitu juga tidak akan putus asa kaum yang lemah yang mendambakan keadilan darimu “HARI. Ahmad bin Hanbal, ad-Daruqutni, dan al-Buaiki). Jika ada hakim yang memutus perkara tanpa mendengar alasan kedua belah pihak, maka keputusannya itu sama dengan sepotong api neraka (HARI. Al-Bukhari dan Muslim dari Ummu Salamah).
Dalam *kesaksian (asy-syahadah), baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana, diperlukan dua orang saksi yang adi (QS.2.282 dan QS.65:2). Khusus dalam perkara tuduhan terhadap seseorang yang diduga melakukan *zina diperlukan empat saksi yang adil yang menyaksikan langsung perbuatan tersebut (QS.4:15). *Ibnu Rusyd (ahli fikih Mazhab *Maliki) Mengemukakan lima persyaratan bagi orang saksi, yaitu, adil, balig, beragama Islam, merdeka (bebas mengeluarkan pendapat), dan tidak terlibat dalam tuduhan.
Ulama sepakat menjadikan adil sebagai salah satu syarat bagi  seorang saksi. Perbedaan pendapat terdapat pada apa yang dinamakan saksi yang adil. Jumhur ulama mengatakan bahwa adil hanya sebagai sifat tambahan dari orang yang beragama Islam. Maksudnya, dengan keislaman itu seseorang sudah dapat dikategorikan orang yang adil, karena telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk menjalankan segala kebaikan dan menjauhi segala yang diharamkan serta menjaga diri dari segala yang makruh. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengertian adil cukup ditunjukkan kepada orang yang mengaku beragama Islam saja (secara lahir), tidak diketahui atau diperhitungkan apakah ia berbuat salah atau tidak. Mengenai orang yang tergolong fasik (QS.49:6), jumhur ulama sepakat untuk tidak menerimanya sebagai saksi, kecuali jika ia telah *tobat, sementara itu Imam Abu Hanifah tidak membolehkannya sama sekali, walaupun ia telah tobat.[2]

3.      Prinsip Keadilan Hukum Islam

sesuai dengan sunnah yang menyebutkan bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam ( rahmatan lil-alamin ), maka hukum Islam dapat diterapkan dalam semua masa, untuk semua bangsa karena di dalamnya terdapat cangkupan yang begitu luas dan elastisitas  untuk segala zaman dan tempat. Hal ini dikarenakan hukum Islam berdiri atas dua model:
1.      Hukum Islam memberikan prinsip umum di samping aturan yang mendetail yang memberikan oleh sunnah sebagai tafsir dari Al-Quran dan As-Sunnah mengandung prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah kulliyah yang tidak berubah-ubah. Bidang ini menjadi lapangan kajian yang luas bagi para mutjahid dan terjadi perbedaan paham, perubahan, pergantian, dan perbaikan. Bagian yang mempunyai kaidah-kaidah umum dan prinsip-prinsip  yang bersifat keseluruhan inilah yang menjadi dasar dan pedoman yang tetap untuk menghadapi perkembangan masa.[3]
2.        Hukum Islam yang mengandung peraturan-peraturan yang terperinci dalam hal-hal yang tidak terpengaruh oleh perkembangan masa, seperti dalam masalah mahram (orang-orang yang haram untuk dikawin), Ibadah, Harta, Warisan. Hukum terperinci, jelas, langsung dapat ditetapkan pada kejadian atau kasus tertentu.[4]

Nasrudin Razak menulis bahwa asas-asas atau prinsip yang dianut dalam Hukum Islam, secara singkat dapat dibedakan:
1.      Tidak memberatkan
2.      Sangat sedikit mengadakan kewajiban secara terperinci yakni memerintah dan melarangnya
3.      Datang dengan prinsip graduasi (berangsur-angsur) bukan sekaligus disesuaikan dengan fitrah manusia dan zaman turunnya.
Dengan asas yang dianut di atas, maka prinsip-prinsip dasar dalam Hukum Islam ialah mengakui hak manusia untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan, menghasilkan manfaat untuk pribadi sebagaimana dikehendaki dengan catatan bahwa tidak boleh menyia-nyiakan hak orang lain.[5]
Hak-hak dan kewajiban setiap manusia menurut hukum Islam dapat dibagi dalam 4 kategori, yaitu:
1.      Hak-hak Allah SWT., yakni:
a.       Manusia harus beriman kepada-Nya secara benar
b.      Wajib bagi manusia untuk menerima dan mengikuti petunjuk-Nya
c.       Manusia harus taat dan patuh kepada-Nya dengan jujur tanpa ragu
d.      Manusia harus menyembah-Nya
Hak-hak ini harus didahulukan atas hak-hak yang lain, bahkan kadang-kadang penuaiannya dengan mengorbankan hak-hak ang dimiliki bagian lain.
2.      Hak-hak diri sendiri, yakni:
Manusia memiliki hak-hak tertentu dan merupakan kewajiban dari manusia lain untuk menunaikannya dengan baik. Dengan hak inilah manusia dapat menjadi dirinya sendiri.
3.      Hak-hak manusia lain:
Dalam pemenuhan hak pribadi tidak boleh merugikan hak-hak orang lain. Hukum Islam menerapkan keseimbangan antara hak-hak pribadi dengan hak-hak orang lain, serta hak-hak masyarakat agar tidak terjadi pertentangan antara keduanya dan harus ada kerja sama untuk pengembangan hukum Allah SWT.
4.      Hak-hak makhluk lain: Semua ciptaan Tuhan memiliki hak tertentu terhadap manusia.[6]

4.      Teks Ayat Al-Quran yang berkaitan dengan Keadilan dan Terjemahan

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَ                                                    ا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Terjemahannya:

"Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat."
(QS. An-Nisa': Ayat 58)


4.1. Arti Perkata Ayat
.
إِنَّاللَّهَ 
: Sesungguhnya allah
يَأْمُرُكُمْ    
: Dia mneyuruh
تُؤَدُّوا۟ أَن                
: untuk menyampaikan
الْأَمٰنٰتِ                    
: Amanat
أَهْلِهَا إِلَىٰٓ
:kepada yang berhak menerimanya
وَإِذَا
: apabila
حَكَمْتُم
: kamu menetapkan hukum
النَّاسِ
  : Diantara manusia
تَحْكُمُوا۟ أَن
  : supaya kamu menetapkan hukum
بِالْعَدْلِ
  : Dengan adil
نِعِمَّا اللَّهَ إِنَّ
: sesungguhnya allah sebaik-baiknya
بِهِۦٓ يَعِظُكُم
:Dia memberi pelajarann kepadamu dengannya
إِنَّ اللَّهَ
: sesungguhnya allah
كَانَ    سَمِيعًۢا
: adalah dia maha mendengar
بَصِيرًا
: maha melihat


4.2. Latar Belakang Munculnya Ayat atau Asbab al-Nuzul


Asbab an-nuzul  QS. An-Nisa’ (4): 58
Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Al-Kalbi dari Abu Shaleh bahwa Ibnu Abbas berkata, ”Ketika Rasulullah SAW menaklukkan Makkah beliau memanggil Utsman Bin Thalhah. Ketika Utsman atang, Rasulullah SAW bersabda, “Tunjukkanlah kunci ka’bah kepadaku.” lalu dia datang kembali dengan membawa kunci ka’bah dan menjulurkan tangannya kepada Rasulullah SAW sembari membuka telapak tanganya.
             Ketika itu juga al-Abbas bangkit lalu berkata, “wahai Rasulullah, berikan kunci itu kepada saya  agar tugas memberi minum dan kunci ka’bah saya pegang sekaligus.” maka Utsman menggemgam kembali kunci itu.
            Rasulullah SAW pun bersabda “ Berikan kepadaku kunci itu, wahai Utsman.”
            Maka Utsman berkata, ”Terimalah dengan amanah Allah.”
            Lalu Rasulullah SAW bangkit dan membuka pintu Ka’bah. Kemudian Beliau melakukan thawaf mengelilingi ka’bah.
            Kemudian Jibril turun menyampaikan wahyu, kepada Rasulullah SAW agar beliau mengembalikan kunci itu kepada Utsman Bin Thalhah. Beliau pun memanggil Utsman dan memberikan kunci itu Kepadanya. Kemudian beliau membaca firman Allah SWT, “Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, .. “ (Al-Nisa’ [4]:58), hingga akhir ayat.”
Syu’bah meriwayatkan di dalam tafsirnya dari Hajjaj dari Ibnu Juraij, dia berkata, ‘Ayat ini turun pada Utsman bin thalhah ketika Fathul Makkah. Setelah Rasulullah SAW mengambil kunci Ka’bah darinya, beliau masuk ke Ka’nah bersamanya. Setelah ke luar dari ka’bah dan membaca ayat di atas, beliau memanggil Utsman dan memberikan Kunci Ka’bah kepadanya. Ketika Rasulullah SAW keluar dari Ka”bah dan membaca firman Allah SWT di atas Umar bin Khattab berkata, ”sungguh saya tidak pernah mendengar beliau membaca ayat itu sebelumnya.” Dari kata-kata Umar RA ini, tampak bahwa ayat ini turun di dalam Ka’bah.[7]

4.3. Korelasinya dengan Ayat lain atau Munasabah al-Ayat

Firman Allah :
ـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَآءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ   ؕ  اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا فَاللّٰهُ اَوْلٰى بِهِمَا ۙ  فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوٰٓى اَنْ تَعْدِلُوْا   ۚ   وَاِنْ تَلْوٗۤا اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
Terjemahannya:
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan."(QS. An-Nisa': Ayat 135)

Allah SWT berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّا امِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَآءَ بِالْقِسْطِ  ۖ   وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَ لَّا تَعْدِلُوْا   ؕ  اِعْدِلُوْا ۙ  هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰى  ۖ   وَاتَّقُوا اللّٰهَ    ؕ  اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
Terjemahannya:
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan."
(QS. Al-Ma'idah: Ayat 8)
(Aplikasi Al-Qur’an Indonesia [OS Android 5.1.1 LMY47V] )



4.4. Penjelasan Ayat dari Berbagai Literatur Tafsir al-Qur’an / Syarh al-Ayat

a.       Tafsir Bachtiar Surin
Amanat ialah sesuatu yang diterima, lalu dipelihara dengan baik untuk diserahkan kepada yang berhak menerima. Orang yang dapat melaksanakan ini dengan sebaik-baiknya dinamakan JUJUR, dan yang sebaliknya dinamakan KHIANAT.
     
Adil ialah meletakkan sesuatu pada tempatnya. Tidak memihak kepada salah satu pihak, walaupun kerabat sendiri.[8]

b.       Tafsir Prof. H. Bustami A.Gani dkk.
Allah memerintahkan agar menyampaikan “amanat” kepada yang berhak.
            Pengertian “amanat” pada ayat ini ialah sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
            Amanat Allah terhadap hamba-Nya yang harus dilaksanakan ialah antara lain: melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauh larangan-Nya. Semua nikmat Allah berupa apa saja hendaklah kita manfaatkan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada-Nya.
            Amanat seseorang terhadap sesamanya yang harus dilaksanakan antara lain: mengembalikan titipan kepada yang punya dengan tidak kurang suatu apapun, tidak menipunya memelihara rahasia dan lain sebagainya.
            Amanat seseorang terhadap dirinya sendiri; seperti berbuat sesuatu yang menguntungkan bermanfaat bagi dirinya sendirian dalam soal dunia dan agamanya. Janganlah ia membuat hal-hal yang membahayakan di dunia dan  akhiran dan lain sebagainya.

            Ajaran Allah yang sangat baik ini yaitu melaksanakan amanat dan hukum dengan seadil-adilnya, jangan sekali-kali diabaikan, tetapi hendaklah diindahkan, diperhatikan dan diterapkan dalam hidup dan kehidupan kita, untuk dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[9]



BAB III
ANALISIS PENAFSIRAN AYAT

Sesungguhnya Allah Menyuruh Agar Menyampaikan amanat kepada ahlinya. Dalam hadist al-Hasan yang diterima dari Samurah mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Sampaikanlah amanat kepadamu dan janganlah kamu menghianati orang yang menghianatimu.”
            Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Para penyusun sunan. Hadist ini mencangkup segala bentuk amanat yang wajib dilakukan manusia seperti hak-hak Allah yang menjadi kewajiban para hambanya-Nya, yaitu Shlat, Zakat, Shaum, Kafarat, Nadzar dan sebagainya yang berupa perkara yang dipercayakan kepada manusia tanpa perlu diawasi oleh orang lain; berupa hak hamba yang menjadi kewajiban hamba lain, seperti barang titipan dan perkara lain yang diamanatkan kepadanya untuk dilaksanakan tanpa perlu disaksikan pihak lain. Allah menyurahkan untuk melaksanakan amanat. Barang siapa yang tidak melaksanakannya di dunia, maka Dia akan menuntutnya di hari kimat, Sebagaimana ditegaskan dalam kita sahih, “Hendaklah kamu menyampaikan hak kepada penerimaannya hingga kawanan domba yang satupun menuntut alas dari kawanan domba yang lain.”
            Banyak penafsir yang menuturkan bahwa ayat itu diturunkan sehubungan dengan kasus Utsman bin Thalhah bin Abi Thalhah, penjaga pinti Ka’bbah yang mulia. Ayat ini diturunkan karena tatkala Rasulullah SAW mengambil kunci Ka’bah pada peristiwa penakluk Mekah, Beliau mengembalikan kepada Utsman. Sebagaimana ahli Ilmu menceritakan kepadaku nahwa rasulullah berdiri di pintu Ka’bah, lalu bersabda, “Tidak ada tuhan melainkan Allah Yang Maha Esadan tidak ada sekutu bagi-Nya; Maha benar janji-Nya. Dia Yang Esa menolong hamba-Nya dan mengalahkan berbagai golongan. Ketahuilah, segala kehormatan, darah, atauu kekayaan yang diadukan, makaia berada dibawah kedua kakiku ini, kecuali soal pemeliharaan Baitullah dan pemberian air minum kepad ajamaah haji.”
          Dia menuturkan kalimat selanjutnya yang terdapat dalam hadist yang merupakan khutbah Nabi SAW. Pada saat itu hingga dia menuturkan, “Rasulullah SAW duduk di masjid. Lalu datanglah Ali bin Abi Thalib, sedangkan kunci Ka’bah berada ditangannya, kemudian berkata, ‘ya Rasulullah, satukan saja kedalam tanggung jawab kita urusan penjagaan Ka’bah danpemberian air minum kepada  jamaah haji-semoga Allah melimpahkan rahmat dan salam Kepadamu.’Maka Rasulullah SAW bersabda kepadamu.’Dimana Utsman bin Thalhah?’ Maka utsman di panggil supaya menghadap beliau. Lalu nabi bersabda ‘Hai utsman, Ini ambillah kuncimu! Hari ini merupakan hari ini merupakan hari pemenuhan atas janji dan hari kebaikan.’” Meskipun ayat ini diturunkan berkaitan dengan pengemmbalian kunci Ka’bah-karena ia merupakan amanat yang dulu diserahkan oleh Utsman bin Thalhah  kepada Rasulullah SAW. Kemudian beliau mengembalikannya kepada Utsman bin Thalhah sebagaiman dikemukakan dalam hadist diatas – makahukum ayat ini mencangkup segala jenis amanat yag dirima leh manusia. Oleh karena itu, Ibnu Abbas berkata, “Amanat itu dibagi orang yag yang baik maupun durhaka. Yakni, amanat itu merupakan perintah bagi setiap orang agar memberikanamanat kepada ahlinya.”
            Firman Allah Ta’ala, “Apabila kamu menetapkan keputusan diantara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” Penggalan ini merupakan perinttah Allah agar menghukumi dengan adil diantara manusia. Dalam sebuah hadis dikatakan, “Sesungguhnya Allah bersama seorang hakim selama dia tidak curang. Apabila dia curang, makaperkara hukum itu diserahkan kepada Dzat-Nya.
            Firman allah Ta’ala, “ Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.” Maksutnya, pengajaran itu berupa perintah untuk menunaikan amanat, menetapkan hukum diantara manusia dengan adil, dan berbagai perintah serta syariat Allah lainnya yang mulia, sempurna dan komprehensif. Firman Allah Ta’ala. “Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat,” Yakni Maha mendengar terhadap ucapanmu dan maha melihat berbagai perilakumu.

            Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa dia membaca ayat: “Sesungguhnya Allah menyuruhmu supaya menyampaikan amanat kepada ahlinya. Apabila kamu menetapkan keputusan di antara Manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”  Abu Hurairah menutup matanya, Lalu Bersabda, “Demikianlah, saya  mendengar Rasulullah SAW. Membaca ayat itu dan beliau meletakkan kedua ibu jarinya di telinnga.”  Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Hibban dalam Sahihnya, al-Hakim dalam mustradnya, Ibnu Mardawih dalam Tafsirnya, dan Abu Yunus yang merupakan budak Abu Hurairah yang nama sebenarnya adalah Salim bin Jubeir.[10]









BAB IV
KESIMPULAN

.Dalam ayat ini dijelaskan yang paling menonjol dalam beramal adalah menyampaikan amat dan menetapkan perkara di antara manusia dengan cara yang adil. Allah memerintahkan kedua amal tersebut. Khusus untuk ayat ini para mufasir banyak mengaitkanya dengan masalah pemerintahan atau urusan negara.
Oleh karena itu, apabila seseorang telah diserahi amat tertentu, ia harus melaksanakan amanah tersebut dengan adil. Hal ini penting karena dalam menunaikan  diri kita pasti akan berhadapan dengan masyarakat dari berbagai kelompok yang beragam.
Dari kesimpulan tersebut kita dapat memetik beberapa  pelajaran, yaitu:
1. Allah memerintahkan untuk melaksanakan amanat kepada yang berhak menerimanya.
2. Dalam berperadilan, Islam menuntut untuk terjadi keadilan di antara kedua orang yang berperkara. Keadilan ini adalah bermakna kedua mereka sama ada kaya atau miskin, kuat atau lemah haruslah tetap diperlakukan sama tanpa melihat siapa mereka. Ini ditetapkan walaupun terhadap orang yang lemah sekalipun.
3.  Taat dan ptuh kepada perintah Allah dengan mengamalkan isi kitab suci Al Qur’an
4. melaksanakan ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah SAW pembawa amanat dari Allah SWT untuk dilaksanakan oleh segenap hamba Nya.
5. Allah mewajibkan kepada setia muslim yang memikul amanat, supaya melaksanakan dengan sebaik-baiknya, baik amanat yang diterimanya dari Allah SWT atau amanat sesama manusia.
6.   Allah memerintahkan kepada setiap muslim supaya berlaku adil dalam setiap tindakannya.
7. Allah SWT memerintahkan kepada setiap muslim supaya berlaku adil dalam tindakannya.
8. Allah SWT memerintahkan pula kepada kaum Muslimin supaya mentaati segala perintah Nya, perintah-perintah Rasul Nyadan ketetapan-ketetapan yang ditetapkan ulil ‘amri di antara mereka
9. Apabila terjadi perselisihan diantara mereka, maka hendaklah diselesaikan sesuai dengan hukum Allah dan Rasul Nya.





v DAFTAR PUSTAKA

Dr. Mardani.2011.Ayat-ayat Tematik Hukum Islam.Jakarta: Rajawali Perss.

Aplikasi Al-Qur’an Indonesia [OS Android 5.1.1 LMY47V]

Prof.H.Bustami.A.Gani.dkk.1991.AL-QUR’AN  DAN TAFSIRNYA : Universitas Islam Indonesia.Yogyakarta:PT.Versia Yogya Grafika.

Razzak, Nazruddin. 1870. Dasar-dasar Aqiqah Islam. Jakarta: Almaarif.

Aziz Dahlan, Aziz. 1997. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.

Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1381 H. Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga.

Maududi, Abu A’la Al. 1987. Dasar-dasar Aqiqah Islam. Jakarta: Media Da’wah.

Madani. 2011. Ayat-ayat Tematik Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Pers.

Surin, Bachtiar. 1991. ADZ-DRIKRAA: Terjemahan dan tafsir Al-Quran. Bandung: Angkasa Bandung.
A.gani, Bustami. 1991. Al-Quran dan Tafsirnya Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta: PT Verisia Yogya Grafika.

Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. 2011. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir IBNU KATSOR jilid satu. Jakarta: Gema Insani.

Madani. Hukum Islam: Kumpulan Peraturan Tentang Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri.










[1] Dr. Madani, Hukum Islam: Kumpulan Peraturan Tentang Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, 2013). Hlm 9-10.
[2] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997). Hlm 25-27.
[3] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1381 H). Hlm 8.
[4] Ibid.,
[5] Nazruddin Razzak, Dinul Islam (Bandung: Almaarif, 1972). Hlm 254.
[6] Abu A’la Al Maududi, Dasar-dasar Aqiqah Islam (Jakarta: Media Da’wah, 19870). Hlm 172-197.
[7] Dr. Mardani, Ayat-ayat Tematik Hukum Islam (Jakarta: rajawali Pers, 2011). Hlm 108-109.
[8] Bachtiar Surin, ADZ – DZIKRAA Terjemahan dan Tafsir AL-QUR’AN (Bandung:Angkasa Bandung, 1991).Hlm 356.
[9] Prof. H. Bustami A.Gani dkk., AL-QUR’AN DAN TAFSIRNYA Universitas Islam Indonesia (Yogyakarta:PT. Verisia Yogya Grafika,1991). Hlm 208-211.
[10] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir IBNU KATSIR Jilid Satu (Jakarta: Gema Insani,2011). Hlm 556-557.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar